Masalah ketidakseimbangan pasokan dan permintaan tembakau di Indonesia sekarang ini mencerminkan konflik struktural antara sistem produksi pertanian dalam negeri dengan kebutuhan industri. Nina Samidi, manajer proyek Komite Pengendalian Tembakau Nasional, bilang kalau produksi tembakau Indonesia sekitar 200 ribu ton per tahun, sementara kebutuhan industri tembakau sampai 315 sampai 340 ribu ton, jadi banyak banget harus impor tembakau. Nina juga mempertanyakan kenapa kelompok Salt Warehouse tidak beli tembakau lokal, dia curiga ada permainan pasar kayak sengaja tekan harga buat stok barang. Selain itu, dia kritik Kementerian Pertanian yang kurang efektif atasi masalah pasokan waktu permintaan rokok turun, sampai para tengkulak bisa main harga dan ngerugiin petani. Soal cukai dan rokok ilegal, dia jelasin keduanya gak ada hubungan langsung, tapi minta pengawasan daerah diperketat. Di sisi lain, Kabupaten Tanah Mangun coba bangun kawasan industri tembakau supaya produksi lokal bisa terserap lebih baik dan petani punya jalan keluar.
Kondisi kekurangan pasokan tembakau yang struktural ini bakal bikin ketergantungan impor makin besar, bikin petani lokal makin susah bertahan dan bisa bikin ekonomi daerah makin terpinggirkan. Kalau pemerintah tidak segera kasih kebijakan dukungan buat industri tembakau lokal, misalnya naikkan harga beli jaminan, kasih bantuan teknis, atau dorong pengembangan rantai industri pengolahan di daerah, pasar bakal dikuasai tengkulak yang bikin mekanisme harga kacau dan bikin industri ini gak berkelanjutan. Walaupun kawasan industri tembakau di Tanah Mangun itu sinyal positif, kalau tidak ada perencanaan jelas dan kebijakan pendukung, bisa jadi cuma formalitas saja. Ke depan, masalah ini mungkin bikin Indonesia harus tinjau ulang kebijakan tembakau dan arah industrinya, sekaligus buka peluang lebih besar buat investor asing dan perusahaan tembakau multinasional.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar