Selasa, 17 Februari 2015

kekerasan di sekolah

aku sudah membaca buku dari bu wesi, tersesat di jalan yang benar, (terima kasih yang sebesar2nya atas bukunya) kalo boleh aku pingin sharing, curhat, atau apalah namanya. ternyata kita sama bu, dalam artian kita sama2 bukan dari fakultas pendidikan, ijasah s1 ku adalah S.HI (sarjana hukum islam) yang membedakan adalah bu wesi sempat ambil akta 4 (akta mengajar) sedangkan aku tidak, dipaksa seperti apapun aku juga g mau, mungkin lebih tepatnya belum mau. karena konsenku di bidang hukum agama, yang secara otomatis sedikit banyak juga mempelajari hukum umum, sama pihak sekolah aku di kasih beban untuk ngajar PKN, kalo jaman aku sekolah namanya PMP, kemarin diganti menjadi PPKn. dengan alasan pak Achmad Choirul tahu sedikit tentang UU dan Pasal2. dan karena aku butuh kerjaan untuk mengisi waktu luang (bukan untuk nyari uang) maka aku terima saja pekerjaan itu, menjadi guru PKN, alhamdulilah bulan november atau desember 2007, aku dapat bekal dari pak Budi Maryono tentang kekerasan di sekolah, waktu itu aku aktif di geng kantin banget, kalo gak salah waktu itu menghadirkan prof. Nugroho dari unnes dan seorang psikolog perempuan (lupa dari mana dan siapa namanya) dan itulah bekal satu-satunya dan sangat berarti dari geng kantin banget untuk menjadi seorang guru. parahnya ilmu yang ku dapat tidak bisa ku terapkan bu, padahal sudah berkali-kali kekerasan di sekolah di expos di tipi dan koran, namun aku menjadi guru yang "moro tangan" kasus terbaru, ketika ada seorang anak yang tidak mau berdoa, dia malah enak2 an tidur, terus ketika mencatat, dia malah ngobrol sama teman di sebelah, saya yang waktu itu belum sarapan (jadi ingat iklan KARENA LAPAR BISA MERUBAH ORANG) langsung mendatangi dia dan "plak...plak..." bukannya diam dia malah nantang dan maki2 saya, sekaligus nuturi saya "jadi guru jangan suka marah pak, harus sabar" seketika amarah saya reda dan dalam hati bilang, "kalo muridnya kayak kamu semua, gimana bisa sabar? disuruh berdoa gak mau disuruh nulis gak mau" kalimat yang keluar dari mulut saya adalah "lha kok kowe malah nuturi aku, sing marai aku emosi kie kowe kok malah nuturi.." lalu aku keluar dari kelas, ngambek, dan juga pingin ketawa, karena ada anak yang salah tapi malah nuturi wong. aku tinggal ke kantin, rokok an dan ngopi selama 1 jam pelajaran (40 menit) ketika aku kembali si anak sudah tidak ada, kata teman-temannya ngeblong, mau lapor sama orang tuanya. bibirku tersenyum sangat manis, namun hatiku bilang "gawat... masalah besar ini." besoknya si anak tidak masuk, teman-temannya bilang, dia keluar pak.(out dari sekolah) aku yang selalu tersenyum manis, berucap dalam hati, "haduh gusti... piye iki?" hal yang paling aku takutkan terjadi, waka kesiswaan, BK dan juga kepsek memanggilku, intinya mereka memintaku untuk minta maaf ke orang tua anak, dan menjelaskan kronologinya, kalau ketemu anaknya sekalian minta maaf juga, dengan berat hati aku lakukan semuanya, sayangnya gak ketemu anaknya, kata ibunya (satu-satunya orang yang saya temui di rumahnya) bilang kalau anak nya kerja ikut bapaknya. nyopir. hal yang sangat diluar dugaan terjadi, si ibu bilang kalau anaknya sebetulnya memang malas sekolah, katanya sudah terlalu tua, kalo gak salah umur 17 (untuk tingkatan smp udah tua, karena rata2 teman-temannya baru 12-13 th. dia termasuk murid yang paling disayang sama gurunya di SD dulu, sehingga sering tidak naik kelas) dia sengaja cari masalah dan sering berbuat onar agar di keluarkan dari sekolah. meski dalam hati ada perasaan lega, namun imej di masyarakat tetep saja buruk, "si A keluar dari sekolah karena di kaplok pak guru" "guru moro tangan kok ijek enek ae yo, jamane demokratis koyok ngene" hal kedua yang aku takutkan adalah si anak mau menuntut balas, meski ibunya menjamin itu gak akan terjadi, namun namanya perasaan was-was tetap saja ada di dalam hati ketika melintas di depan rumahnya (karena dia masih tetangga saya, agak jauh dikit lah 20 rumah paling, hehe...) soalnya si anak, dan juga keluarganya bisa bela diri (silat) bahkan termasuk salah satu pentolan perguruan itu. kabar terakhir yang aku dengar sekarang dia di jakarta, tiap minggu tidak pernah absen untuk sms aku dengan kata2 kotor dan makian, "aku ra trimo mbok kaplok." sebuah pertanyaan untuk bu wesi, dan aku berharap sekali agar jawabannya bisa jadi masukan, kritik dan juga saran, meski aku sudah mengantongi puluhan jawaban, termasuk di dalamnya adalah jawaban dari kepala sekolah SD nya dalam menangani anak tersebut. WHAT MUST I DO NOW, MAAM...?