
Dikota minyak ini orang akan merasa terabaikan apabila tidak mempunyai kelompok atau geng. Paling tidak mereka mempunyai komunitas yang mempunyai rasa dan selera yang sama. Sebut saja motor ceper, ikatan para penggemar motor yang bodinya diturunkan sehingga mesin bagian bawah dari motor hampir menyentuh tanah. Tiap malam minggu mereka berkumpul di taman kota. Tepat pada pukul sembilan malam akan ada pawai motor ceper mengelilingi kota Cepu. Aku tak pernah mengerti apasih enaknya motor kerdil itu? Kalau jalan yang mereka lalui buruk, bisa-bisa mesin menabrak batu atau gundukan tanah ketika sedang merayap di jalan. Suaranya juga sangat memekakkan telinga, karena saringan pada knalpot dicopot. Aku tak pernah faham selera anak muda zaman sekarang, mereka lebih senang ramai-ramai, atau lebih tepatnya urakan.
Dikota cepu ini ada beberapa organisasi besar yang menaungi berbagai macam bidang. Mulai dari sekolah, masjid, laborat, toko, bahkan panti asuhan. Tidak akan disebut besar organisasi itu apabila tidak mempunyai panti asuhan. Karena mereka merasa bahwa anak yatim piatu membutuhkan pertolongan, sehingga butuh dana besar untuk mengelola panti asuhan itu. Anehnya anak-anak yatim piatu itu merasa bangga berada di panti asuhan. Mungkin karena mereka sendiri sudah merasa bahwa dirinya harus dikasihani. Mereka menjadi manja berada di panti asuhan. Bagaimana tidak? Sekolah dibayari, makan diberi, pakaian juga diberi, biarpun tidak baru. Mereka sama sekali tidak disuruh bekerja. Mereka ibarat anak raja yang harus dimuliakan dan dihormati. Karena menyakiti anak yatim piatu adalah dosa besar. Sehingga moral dan akhlak mereka tidak karuan. Beda dengan anak orang miskin yang masih mempunyai orang tua. Mereka ibarat budak yang harus bekerja keras untuk makan, sehingga pendidikan mereka terabaikan, bahkan beberapa anak yang mempunyai potensi bagus harus putus sekolah gara-gara bekerja untuk menyambung hidup. Kalau di panti asuhan tidak ada istilah putus sekolah. Asal mereka mau, pendidikan apapun akan dibiayai termasuk kursus, les dan lain sebagainya yang mereka kehendaki. Ternyata biarpun Cepu hanya kota kecil tapi terjadi perbedaan sosial yang sangat mencolok.
Selain mendapat santunan, anak-anak panti –begitu mereka biasa disebut- juga mengenal dan mengetahui nama orang-orang ternama di kota ini. Sebut saja Bapak Bupati, anggota DPRD, Bapak camat, ketua ormas islam yang paling besar di Indonesia –untuk tingkatan cabang. Karena merekalah yang sering memberikan santunan dan bantuan melalui berbagai macam kegiatan yang diadakan. Mulai dari buka puasa bersama, pengajian rutin dan berbagai kegiatan lain yang pada akhir acara mereka diberi bingkisan. Hal ini menimbulkan kecemburuan pada anak-anak miskin –kalau tidak mau disebut sebagai anak jalanan. Mereka memprotes, kenapa hanya anak-anak panti yang diberi sumbangan padahal mereka juga membutuhkan. Aku juga pernah memprotes ketidak adilan itu. Ketrampilan yang aku miliki, prestasi yang kuraih butuh pengembangan, sementara anak-anak yatim itu tidak sedikitpun mengukir prestasi karena kerjanya hanya malas-malasan. Tapi syukurlah aku bisa menamatkan SMA biarpun itu dengan usaha yang sangat keras. Dan saat ini aku kuliah dengan biaya sendiri, aku berusaha untuk mandiri, tanpa harus menggantungkan pada orang lain. Karena orang tuaku sudah tidak mampu membiayai kuliahku.
***
Udara siang itu begitu panas ketika aku berada di halte, menunggu bus jurusan Bojonegoro. Aku akan membeli beberapa barang yang akan aku jual kembali di kota Cepu. Biarpun hasilnya tidak seberapa tapi cukup lumayan untuk membiayai kuliah dan makan sehari-hari. Bus yang aku tunggu datang dan berhenti tepat didepanku. Tapi sial penumpangnya banyak sekali, terpaksa aku berdiri, berdesak-desakn dengan penumpang lain. Kulihat seorang pemuda memakai topi merah berada di depan, agak jauh dari tempatku. Aku kenal dengan pemuda itu, dia adalah Anang Prasetya temanku ketika masih di SMA dulu. Dia adalah anak panti yang selalu membawa motor ketika berangkat sekolah. Entah motor siapa yang dibawa, tapi tiap kali ditanya dia menjawab “ kendaraan yayasan ”. Memang ada beberapa fasilitas yang diberikan oleh yayasan termasuk kendaraan. Akan tetapi untuk anak-anak hanya diberi sepeda onthel, untuk pergi ke sekolah atau mengikuti kegiatan. Aku terus memperhatikan Anang, aku tidak bisa memanggilnya karena jaraknya agak jauh, selain itu aku juga malu berteriak dalam bus. “emangnya ini hutan, teriak seenaknya sendiri.” Batinku dalam hati.
Mataku terbelalak tak percaya ketika melihat perbuatan Anang yang sama sekali tidak pernah terlintas dalam benakku. Dia mengambil dompet penumpang yang ada disebelahnya, setelah mengambil uang yang ada di dalamnya dia menjatuhkan dompet itu begitu saja. Lalu dia meminta kondektur untuk turun di depan. Aku hanya geleng-geleng kepala ketika melihat dia turun dari bus. Ada sebuah senyum kemenangan disudut bibirnya. Apakah anak yatim piatu seperti itu? Tidak mempunyai rasa terima kasih. Tidak mau merasakan penderitaan bagaimana susahnya mencari uang. Tentu saja orang yang kecopetan kebingungan ketika hendak membayar. Dan aku hanya tertunduk diam penuh penyesalan, kenapa justru temanku yang melakukannya.
***
Aku bertemu lagi dengan anang ketika berada di agen koran. Maklum aku juga menjadi penyalur koran kepada para pelanggan. Aku tidak mengenalinya jika dia tidak memanggilku. Wajahnya sudah berubah, sebuah kumis tipis berbaris rapi diatas bibirnya. Rambutnya agak panjang, dan masih memakai topi berwarna merah, topi yang sama ketika aku menjumpainya di dalam bus. Dia mengajakku ke sebuah warung kopi dan berbincang-bincang tentang pengalaman yang kami dapat setelah lulus SMA.
“ Kamu bekerja dimana?” tanyaku setelah meneguk kopi pahit dihadapanku.
“ Sekarang aku adalah pengacara, pengangguran banyak acara.” Aku tertawa terbahak-bahak mendengar jawabannya. Dia tidak berubah, masih saja suka melucu.
“ Bantu aku mencari pekerjaan.”
“ Tidak bisa, aku sendiri belum bekerja.”
“ Ah bohong...buktinya kamu bisa kuliah.”
“ Aku kerja serabutan, yang penting halal.” Aku tidak sengaja mengucapkan kalimat itu.
Nampaknya dia tersinggung dengan kata “halal” yang baru saja aku ucapkan. Dia menundukkan wajahnya.
“ Kemarin aku melihatmu di dalam bus jurusan Bojonegoro. “
kali ini wajahnya memerah ketika menatapku. Dia tetap diam seribu bahasa.
“ Maaf...bukannya aku turut campur, tapi...”
“ Sudahlah bukan urusanmu!” dia memotong kalimatku dan keluar begitu saja dari warung kopi. Setelah aku membayar kopi yang kami pesan, aku segera menyusulnya.
“ Memangnya ada masalah apa sampai kamu tega berbuat seperti itu?” tanyaku ketika sudah berada disampingnya. Dia menatapku tajam. Matanya memerah penuh amarah.
“ Ah...sudahlah bukan urusanmu!”
“ Hei,.. aku peduli karena kamu adalah sahabatku. Aku tidak mau kamu...”
“ Memangnya kamu bisa membantu?” potongnya
“ Nang...tidak ada permasalahan yang tidak bisa diselesaikan. Jika kamu tidak keberatan, ceritakan padaku. Aku akan membantu kalau bisa. Paling tidak meringankan beban dihatimu.”
Kali ini sorot matanya berubah menjadi sayu, dia memandang jalan raya, lantas duduk di tepi trotoar tempatnya berpijak, tanpa mempedulikan tempat yang diduduki. Aku juga melakukan hal yang sama, duduk disampingnya.
“ Semenjak aku keluar dari panti asuhan aku berkenalan dengan seorang gadis,aku mencintainya, dia juga mencintaiku. Kami saling mencintai, ke mana -mana selalu bersama sampai akhirnya aku berhubungan badan dengan dia. Sudah sampai dua tahun kami melakukanya sampai akhirnya dia hamil dan meminta pertanggungan jawab dariku. Aku tidak bisa berbuat apa-apa, selain aku belum bekerja, kami melakukanya suka sama suka. Lalu aku memintanya untuk menggugurkan kandunganya. Dia menolak dan mengadu kepada kedua orang tuanya, kakaknya datang kerumahku dan menghajarku. Aku babak belur dibuatnya lalu aku lari ke Bojonegoro dan menjumpai teman-temanku. Aku menceritakan masalahku. Mereka bukannya membantuku malah memberiku obat-obatan terlarang. Karena dalam kondisi bingung terpaksa aku menerimanya dan menikmatinya. Dalam sekejab aku sudah kecanduan obat itu. Aku tidak punya uang untuk membelinya. Mereka menghajarku bila aku meminta ‘barang’ tanpa membayar.” Anang memandang jalan yang ramai yang dilalui kendaraan. Aku bergetar melihat tatapan matanya yang kosong.
“ Akhirnya aku pulang ke Cepu dan menjumpai gadis itu. Tak tahunya anakku sudah lahir. Dia laki-laki, badannya gemuk. Oleh keluarga mereka, aku dinikahkan biarpun cuma nikah sirri. Sejak saat itu aku kelimpungan mencari uang untuk memenuhi kebutuhanku akan obat-obat terlarang dan juga untuk anak dan istriku.”
Dia berhenti lagi ketika kulihat matanya basah oleh air mata. Nampaknya dia benar-benar kesulitan menjalani hidup. Aku hanya menarik nafas panjang mendengar ceritanya.
“ Aku tidak mempunyai ketrampilan di panti asuhan. Aku juga tidak tahu pekerjaan apa yang cocok untukku. Dari pada pusing aku menempuh jalan pintas. Semuanya terpaksa aku lakukan karena...”
Dia tersedu-sedu dan tidak meneruskan kalimatnya. Kuletakkan tanganku diatas pundaknya dan merangkulnya. Aku sendiri bingung apa yang harus aku lakukan.
“ Kini kamu sudah tahu semuanya. Aku adalah seorang penjahat. Aku ingin berhenti, untuk itu tolong aku, carikan pekerjaan. Aku tidak mau anakku memakan barang haram seperti ayahnya.”
“ Akan kucoba.” Kataku sambil tersenyum kepadanya
Dia menyeka air matanya dan berdiri ketika melihat bus jurusan Surabaya melintas perlahan di depannya. Dia tersenyum kepadaku dan mengangguk kepadaku. Lalu dia mengejar bus itu. Aku tak bisa mencegahnya karena hanya itu yang bisa dilakukannya untuk menghidupi anak dan istrinya. Aku hanya menghawatirkan keselamatannya, bagaimana kalau dia ketahuan dan dipukuli orang-orang di dalam bus? Sementara anaknya masih kecil. Dalam hati aku berjanji akan mencarikan pekerjaan untuknya. Setidaknya pekerjaan yang halal dan diridhoi oleh Tuhan.
Aku berdiri dan memandangi bus yang melaju ke arah timur menuju kota Surabaya. Didalamnya ada Anang Prasetya, anak panti asuhan yang saat ini hidupnya terlunta-lunta. Aku tidak tahu apa yang dilakukanya didalam bus itu, yang jelas sangat tidak baik dan menghawatirkan.
Ternyata didikan dan asuhan orang tua sangat berarti dalam menentukan masa depan, kita bisa meminta pertimbangan mereka sebelum melangkah. Biarpun serba kekurangan tetapi ada kebahagiaan karena masih mempunyai orang tua yang utuh. Bagaimanapun orang tua sangat penting dala kehidupan kita. Aku bersyukur tidak dilahirkan dalam keadaan yatim piatu.
***end***
Thanks to budi maryono; for the spirit
Kota minyak cepu
27 februari
Tidak ada komentar:
Posting Komentar