Rabu, 13 November 2019

PERCAKAPAN MAS SANTRI DENGAN KANG ABANGAN (lebih mantap dibaca sambil minum kopi)

Santri : “lho kang, kamu baru saja makan babi ya?” Abangan : “iya, kenapa?” Santri : “babi itu haram lho kang, udah di syariatkan dalam agama!” Abangan : “lho itukan babi saya sendiri, saya pelihara sejak kecil, saya rawat dengan memberi makan setiap hari, setelah beranak pinak dan besar, bolehkan saya menyembelihnya? Wong saya juga butuh lauk pauk untuk makan.” Santri : “iya kang, itu benar. Tapi yang kamu pelihara itu adalah binatang yang sudah di nash di dalam al Quran, kitab suci umat islam, bahwa babi itu haram. Jangankan memakannya, memelihara pun sebetulnya juga haram. Karena nanti kamu akan menjual babi-babi yang lain, anak-anak dari babi itu kepada orang lain, sehingga jual beli yang kamu lakukan itu juga haram. Uang yang kamu dapat untuk menafkahi anak istrimu juga uang haram. Coba bayangkan bagaimana jadinya bila anak istri kita dinafkahi dari barang haram. sudah banyak buktinya kang, keluarga yang dinafkahi dari barang haram akan menghasilkan anak-cucu dan keturunan yang sangat sulit diatur. Istri atau pasangannya pun akan sering ngambek, tidak pernah merasa puas dengan apa yang diberikan oleh suaminya, sehingga ada rasa kurang, kurang dan ingin lebih banyak lagi. Padahal penghasilannya dari barang haram berupa memelihara babi dan menjualnya.” Abangan : “mohon maaf sebelumya, mas santri ini mencontohkan kehidupan siapa? Selama ini keluarga saya baik-baik saja. Anak saya yang paling besar sebentar lagi akan di wisuda menjadi seorang dokter di universitas ternama. Anak saya yang ke-dua baru SMA, dan kemarin mewakili Indonesia dalam olimpiade matematika di luar negeri. Dan anak saya yang ketiga kemarin lulus SMP dengan nilai ujian nasional terbaik se-kabupaten. Anak saya yang paling kecil kemarin masuk tivi, ikut lomba da’I cilik di tivi swasta, padahal dia baru kelas tiga SD. Semua anak saya tidak sulit mengaturnya. Mereka semua manut-manut meski saya biayai dari hasil ternak babi. Istri saya sendiri juga nriman, meski saya jelek ban bauk tapi dia cinta mati sama saya, buktinya sekarang dia hamil anak saya yang kelima dan sekarang sudah berusia tujuh bulan kehamilannya. Saya kasih nafkah sehari sepuluh ribu rupiah tidak pernah protes. Kalau ada keuntungan besar saat jualan babi saya kasih seratus ribu per hari juga gak kaget, dia malah pinter menyimpan uang untuk kebutuhan sehari-hari. “Mas santri gak usah mengada-ada dengan mengatakan istri tidak pernah puas dan anak-anak sulit diatur, nyatanya keluarga saya baik-baik saja. Coba mas santri mengaca pada diri sendiri, bagaimana kehidupan njenengan sendiri? Saya dengar anak njenengan yang mondok kemarin di ta’zir karena ketahuan ghosob barang milik temannya. Anak njenengan yang paling besar katanya terancam DO karena tidak bisa bayar uang kuliah. Bahkan yang paling miris anak njenengan yang putri, setiap hari pulang diantar oleh orang yang berbeda, yang usianya sama dengan njenengan, orang yang lebih pantas jadi bapaknya. Lalu bagaimana dengan istri njenengan yang punya utang banyak sekali di setiap warung, bahkan warung-warung menolak memberikan hutangan lagi karena sudah terlalu banyak hutangnya. Dan hanya diberi janji akan dibayar setelah suami saya dapat uang atau gajian. Padahal njenengan setiap kali gajian selalu dipakai untuk membayar sekolah dan kuliah anak njenengan. Sisanya tinggal beberapa ribu untuk bertahan sebulan. “Lalu mana kehidupan yang njenengan gambarkan tidak bahagia? Kemarin njenengan diberi kambing oleh si fulan, padahal fulan itu dapat kambingnya dari mencuri. Dia tahu akan digerebek warga, makanya memberikan kambing itu pada njenengan agar segera disembelih. Dagingnya dibagi dua antara njenengan dengan si fulan. Apabila warga mau menggeruduk njenengan mereka jelas tidak berani karena njenengan tokoh agama di desa ini. Mereka lebih memilih diam dengan sumpah serapah dipendam dalam hati karena mereka mengetahui bagaimana kehidupan njenengan. Apakah kambing yang njenengan makan bersama fulan itu halal? Saya tahu kambing itu halal. Bahkan termasuk salah satu binatang yang wajib di zakati, namun jika kita mendapatkannya dengan cara mencuri atau menipu orang, apakah tidak bisa jadi haram? “Njenengan ibarat nguyahi segara bila bicara tentang halal dan haram dengan saya. Saya tahu apa yang saya lakukan adalah salah, namun saya tidak butuh pembenaran dari siapapun atas perbuatan yang saya lakukan. Hampir setiap bulan selalu ada majlis taklim atau panitia pembangunan yang datang kerumah untuk meminta sumbangan pengajian ini atau pembangunan itu. Dan saya welcome terhadap mereka, menyumbang sepantasnya. Apakah njenengan juga melakukan hal yang sama? menyedekahkan uang halal yang njenengan dapatkan? Saya sendiri curiga njenengan kesini sepagi ini untuk meminta sumbangan karena saya tahu njenengan dipecat dari pekerjaan njenengan karena ketahuan korupsi!” Seketika memucat wajah mas santri dan pergi begitu saja meninggalkan kang abangan yang sedang menyeruput kopi.

Tidak ada komentar: