Rabu, 27 November 2019

Hal yang Paling Menjengkelkan

Sudah hampir tiga bulan saya disini, di ibukota Jawa Tengah untuk menuntut ilmu dari jalur beasiswa di sebuah universitas milik swasta. Bukan tanpa perjuangan yang berat, kehidupan di ibukota ternyata lebih kejam. Sudah dua kali saya ditilang polisi lalulintas karena tidak kelihatan rambu-rambu di jalan. Belum lagi harus menghapalkan rute-rute ke toko buku (tempat favorit saya). Bahkan lapak buku bajakan juga tak luput dari pencarian saya. Intinya dua tahun kedepan, saya harus berubah. Tidak muluk-muluk, hanya ingin jadi guru yang baik. Beberapa teman di Semarang yang kebetulan juga seorang guru senior dan bergelar guru profesional selalu punya trik tersendiri untuk mengajar. Saya benar-benar salut sama beliau, Sayang karena kesibukan beliau kita belum bisa ketemu, hanya curhat aja lewat Facebook sambil menikmati tulisan beliau. Hari ini karena kesibukan beberapa dosen, kelas kosong. Hal yang bisa saya lakukan adalah membaca buku. Kegemaran saat masih duduk di bangku SD. Potongan koran yang digunakan untuk membungkus nasi pecel saat beli sarapan saja, harus saya baca dulu sebelum akhirnya dibuang ke tempat sampah. Hidup boleh kekurangan, namun aktifitas iqro' seperti wahyu pertama yang diturunkan kepada Nabi Muhammad harus terus berjalan. selain koran, majalah dan buku pelajaran, tidak lupa membaca kitab suci Alquran, meski porsinya lebih kecil, hanya selembar. Untung kegiatan itu bisa rutin sehabis magrib, jadi tidak lupa dengan agamanya. Kalau untuk membaca buku, jangan tanya. Bisa berjam-jam. Apalagi saya pengidap insomnia. Penyakit sulit tidur yang sudah saya derita sejak berseragam abu-abu. Apalagi penyebabnya kalau bukan karena perempuan. Daripada waktunya useless lebih baik saya gunakan untuk membaca buku. sialnya buku pelajaran kadang membosankan juga. dan yang jadi sasaran apalagi kalau bukan novel. Kalau buku novelnya telah habis dan belum ada uang untuk beli yang baru, kadang saya baca cerpen hasil kliping saya. Dulu sebelum saya menjadi guru, saya adalah seorang karyawan toko pakaian di kota cepu. sebelum dimasukkan kedalam kantong plastik. Pakaian apapun harus dibungkus koran. saat akan mengambil koran dan tidak sengaja pada bagian cerpen atau ulasan, opini dari pendapat para ahli selalu saya sisihkan. ketika toko tutup saya akan membawa pulang beberapa lembar koran yang sudah saya sisihkan tadi, tentunya setelah mendapat ijin dari yang punya toko. Kadang beliau bertanya "Buat apa toh mas kok setiap hari bawa koran bekas?" Spontan saya menjawab "Buat bacaan saja di rumah kok bu..." Nyatanya sesampai di rumah artikel-artikel di koran tadi, yang berupa cerpin dan opini saya gunting. Lalu saya tempel pada sebuah buku ukuran besar. Lumayan bisa mengumpulkan pendapat para ahli. meski kadang yang dibahas tidak saya sukai. misalnya masalah ekonomi. ironis banget. hidup susah masih disuruh membaca pendapat para ahli agar berhemat untuk mengatasi ekonomi yang terus merosot. Lha emangnya saya boros? makan aja hanya sehari sekali. itupun setelah terdengar adzan maghrib. bahasan yang paling saya sukai adalah berita politik, wisata dan juga pendidikan. meski saya bukan lulusan fakultas pendidikan, namun entah kenapa senang sekali dengan cara belajar dari orang-orang sukses. Tak tahunya setelalh lulus kuliah malah ditawari menjadi guru. meski awalnya saya menolak karena memang saya bukan dari fakultas pendidikan, toh akhirnya saya terima juga. hitung-hitung cari pengalaman dan mengamalkan ilmu yang sudah saya dapat. saat itu belum ada aturan linerisasi pendidikan. jadi lulusan fakultas apapun bisa menjadi guru asal punya akta empat. namun saya tidak ambil akta empat karena keterbatasan dana. sampai-sampai pernah ada kebijakan guru bisa menerima tunjangan profesional, meski tidak dari fakultas pendidikan. Namun harus meng-upgrade diri dengan linierisasi pelajaran yang diampu. dan saat ini saya berada di ibukota jawa tengah, dalam rangkahuntuk upgrade diri, meski saya tidak menerima tunjangan profesional, namun ada wacana bahwa guru yang sudah menyelesaikan program magister bisa menerima tunjangan profesi tanpa PPG.

Tidak ada komentar: